Bukan Cinta Semusim

Hati perempuan tidak akan berubah karena waktu atau musim, walau akan mati selamanya, tidak akan pernah musnah. Hati seorang perempuan seperti ladang yang berubah menjadi medan perang, setelah pohon-pohon dicabut dan rumput-rumput dibakar dan karang yang merona karena darah dan tanah yang ditanami dengan tulang dan tengkorak, tenang dan sunyi seperti tak ada yang telah terjadi, selama musim semi dan musim gugur datang pada gilirannya dan hanya menyimpulkan pekerjaan. (Kahlil Gibran)



Adzan subuh masih akan terdengar beberapa menit lagi, tetapi kesibukan di lantai bawah itu telah terdengar. Pendengaranku sudah faham dengan keributan-keributan kecil ini. Pasti Mbah Kung sedang bersiap menuju mushola di depan rumah dan Mbah Putri siap siaga untuk mulai memasak sarapan pagi ini. Matahari pagi pun terbit dan hari mulai terang. Beberapa hari sekali Mbah Putri akan pergi ke pasar, kadang sendirian, kadang pula Mbah Kung akan setia menemani(paling tidak membawakan barang belanjaan). Jika pergi sendirian, aku akan melihat pemandangan yang membuat aku ingin mengucapkan Subhanalloh, Mbah Kung akan bersemangat untuk mencuci piring yang menumpuk di dapur(rasanya aku ingin sekali mengambil pekerjaan itu, tetapi aku harus berangkat ke kantor).



Teman, ijinkan aku menceritakan dua orang yang amat kuhormati ini. Kehidupan mereka adalah sumber inspirasi, hikmah berharga, dan pelajaran kehidupan nyata dalam lembar-lembar hariku. Potret cinta, kehangatan, penghormatan, dan kasih sayang yang tiada pernah pudar oleh masa dan kesulitan. Dalam beberapa kesempatan mendengarkan cerita Mbah Putri, aku menerima banyak hal dari kisah-kisah itu.

Mbah Putri berasal dari keluarga ningrat di daerah Cirebon sedangkan Mbah Kung berasal dari keluarga kebanyakan. Pada masa awal pernikahan mereka, beliau merasakan kehidupan yang berbeda dengan kehidupan masa kecilnya. Dari sebuah lingkungan yang serba berada lalu masuk ke lingkungan baru yang sederhana atau bahkan sering kekurangan. Beliau pernah bercerita bahwa pernah suatu ketika, uang bulanan sudah habis sedangkan gaji Mbah Kung belum diterima, lalu mereka bersama ikhlas hanya makan dengan garam saja. Waktu itu Mbah Putri berkata padaku, “Istri itu harus terima apapun keadaannya dan berapapun yang didapat dari suaminya. Jangan seorang istri bersikap baik kepada suaminya hanya jika sedang punya uang, jikalau keuangan sdg tidak bagus lalu dia marah-marah dan bersikap buruk..”. Aku tersenyum.
Aku melihat kehidupan Mbah Putri dan Mbah Kung begitu serasi dan harmonis. Keduanya saling mengisi dan saling mengingatkan, walaupun dengan usia yang sudah lebih dari 70 tahun itu. Misalnya suatu saat Mbah Putri sedang kebingungan dan emosi dengan masalah putranya, Mbah Kung berusaha tidak ikut terbawa ‘arus panas’ itu. Beliau bercanda terus sampai Mbah Putri ikut tertawa dan berkata, “Mbah Kung suka becanda aja”. Melihat itu aku tertawa geli. Suka bercanda. Ehem, itu yang sering dikatakan Mbah Putri tentang Mbah Kung, dan menurut beliau, itu yang membuat kehidupannya begitu santai dalam menghadapi masa-masa sulit selama ini. Namun, beliau termasuk orang yang sangat menjunjung tinggi kedisiplinan, kesopanan & kesantunan dan berusaha menegakkan itu di dalam kehidupannya. Kehidupan yang rukun, tenang, damai, saling mengisi, saling bahu membahu memecahkan persolan, itulah yang kurasakan di situ.


Beberapa hari yang lalu aku membaca hasil survey terhadap para istri di suatu daerah tentang apa yang mereka harapkan dari suami mereka. Survey tersebut pernah dilakukan sekitar tahun ’80-an dan memberikan hasil mayoritas para istri menginginkan perilaku suaminya berubah menyesuaikan dirinya. Survey tahun ini memberikan hasil yang mengejutkan, mereka menginginkan fisik suami mereka berubah. Fisik, kok bisa yach? Aku tidak tahu, apakah saat ini kebutuhan & kebanggaan memiliki suami yang keren, cakep, dan parlente mengalahkan kebutuhan untuk memiliki suami yang pengertian, sevisi, dan semisi. [Nggak bisa komentar nih, belum menikah sih he3x]



Mungkin, cinta saja tidak cukup untuk mempertahankan sebuah pernikahan. Demikian suatu kesimpulan yang bisa aku tangkap setelah membaca bagian awal dari buku mens are from mars, womens are from venus(John Gray). Mungkin, pada awalnya perasaan jatuh cinta yang sangat dalam mampu mengalahkan bayangan tentang kesulitan-kesulitan yang akan dihadapi nanti. Namun, justru dari perasaan cinta itu menimbulkan masalah-masalah besar yang bisa mengantarkan kepada perceraian. Apa masalahnya? Menurut buku itu, karena pria dan wanita diciptakan berbeda, dan berbeda pula dalam menyikapi suatu masalah, yang bila tidak dimengerti oleh masing-masing pihak akan memberikan arti yang berlawanan. Satu pihak merasa, sikapnya ini adalah bentuk cinta dan penghormatan, tetapi pihak lain ternyata menafsirkan berbeda.



Apakah angka perceraian di Indonesia sudah semakin tinggi? Aku tidak tahu, tetapi dari beberapa informasi dari beberapa sumber yang aku dapat memang demikian. Fenomena perceraian di kalangan artis, yang menjadi public figur, telah menjadi komsumsi sehari-hari, bahkan artis yang dikenal sebagai pasangan serasi & harmonis pun bisa menjalani perceraian. Sementara itu, di kalangan aktivis dakwah pun ternyata hal itu bisa terjadi. Bagaimana bisa ya ? Bukankah mereka disatukan oleh visi, misi, dan komitmen dakwah ? [wallahualam].



Kembali ke kisah Mbah Kung dan Mbah Putri, aku benar-benar kagum bahwa rumah tangga mereka bisa bertahan sampai saat ini(insyaAllah sudah 50 tahun lebih). Satu hal yang menurutku sangat penting dalam hubungan ini adalah sikap Mbah Putri untuk bisa menerima suaminya apa adanya, dalam keadaan sesulit apapun tetap bertahan dan setia, dan bila mendapat rejeki membiasakan berbagi dengan orang lain. Apakah itu saja cukup untuk mempertahankan rumah tangga ? [Aku tidak tahu, kan aku sudah bilang, aku belum menikah jadi nggak bisa banyak komentar yach :D ]. Sebuah kalimat dalam sebuah artikel menyatakan seperti ini, saat ini kita sering disibukkan dengan kepusingan mengurus acara pernikahan & perdebatan-perdebatan seputar prosesi & hijab, padahal hal yang seharusnya sibuk untuk dipikirkan adalah bagaimana mempertahankan pernikahan itu sendiri.



Mungkin, kita membutuhkan cinta, yang bukan cinta semusim. Semusim semi saja, tatkala bunga-bunga yang mati dan layu kembali bersemangat untuk tumbuh, mekar, dan semerbak. Pohon-pohon menghijau dan menyebarkan gairah kehidupan ke seluruh penjuru dunia. Bila musim panas, tiba-tiba cinta itu menjadi semakin membosankan dan penuh pertikaian. Bila musim gugur, tiba-tiba cinta itu ikut berguguran, mengering, memerah, dan menyakitkan. Bila musim dingin, cinta itu ikut membeku bagai gunung es, yang sulit untuk coba didaki atau dileburkan. Mungkin, cinta itu harus bertahan di empat musim, apapun caranya, bagaimanapun usahanya, dan seberat apapun tantangannya.



Mungkin, kita belum cukup jika hanya memiliki cinta ketertarikan seperti orang Mars yang tiba-tiba tertarik mendekati orang venus karena dalam penarikan dirinya di gua tiba-tiba ia melihat Orang venus dari teropong bintangnya, dan sebaliknya perasaan orang Venus yang begitu bersemangat tatkala melihat pesawat-pesawat luar angkasa Mars mendarat di Venus. Tatkala mereka bersepakat bahwa bumi mungkin adalah tempat terbaik bagi kehidupan mereka, tiba-tiba mereka berdua lupa akan asal mereka dan kebiasaan yang berada di planet asal mereka. Bumi, mungkin, adalah sebuah tempat untuk saling membagi & mengerti kebiasaan-kebiasaan asal masing-masing dan menciptakan toleransi dan kebiasaan baru yang serasi dan harmonis.



Mungkin kita memerlukan cinta dari Sang Pemilik Cinta Yang Sempurna untuk mengabadikan cinta-cinta kita di dunia & akhirat. Dan aku menghormati dan menyayangi wanita tua itu, yang pada guratan di wajahnya yang nyata dan gerak langkahnya yang terirama dan lembut, mungkin tersimpan cinta yang bukan cinta semusim.

Postingan terkait:

Belum ada tanggapan untuk "Bukan Cinta Semusim"