Mereka Pilih Bunuh Diri
Andini 9 tahun, Khadijah 12 tahun, Saefulloh 11 tahun. Mereka bukanlah finalis AFI Junior, bukanlah teman Samuel AFI, Calista AFI, Tata AFI, dll. Mereka adalah korban bunuh diri dengan motif yang berbeda-beda. Aku membacanya siang tadi di tabloid yang biasanya dipenuhi tingkah polah selebritis yang sangat menjual pada segmen ibu rumah tangga.Ya... aku tertarik membacanya karena subjudul yang tertera pada sampul depan tabloid "Sekarang banyak anak bunuh diri". Langsung aku buka halaman 26 yang memaparkan kronologis Saefulloh (alm), yang sebelumnya ditegur oleh ibunya karena melempar adiknya dengan opak (krupuk), bunuh diri dengan cara menggantung diri. Mataku beranjak pada halaman 27, terdapat kolom yang berjudul... "Mereka pilih bunuh diri" dan tak kalah pilunya diikuti oleh sederetan nama anak yang mencoba bunuh diri sejak Febuari 2003 -Juni 2004. Ada yang berhasil digagalkan, ada yang mengalami keterbelakangan mental, namun tak sedikit yang tak mampu diselamatkan. Dan sebuah analisis dipaparkan bahwa mereka semua mengalami stres. Stres karena belum membayar spp, karena dimarahi guru, karena dimarahi ibunya, dll. Itu yang berhasil teridentifikasi, aku yakin masih banyak kasus serupa yang tak terekspos dan terjadi di tanah air tercinta... Indonesia.Psikolog dari Universitas Pittsburgh berkata "Dari kebanyakan kasus, orangtua terlalu mendorong anak untuk bertanggung jawab dan membuat keputusan." Hhhh.... Mungkin saja sang anak merasa "bertanggung jawab" ketika ayahnya di-phk, mungkin saja mereka "bertanggung jawab" atas keburukan perekonomian orangtua mereka. Dan masih banyak kemungkinan yang mengantarkan mereka "bertanggung jawab" untuk bunuh diri.Apakah bunuh diri suatu pilihan yang harus dihadapi manusia yang masih berlabelkan anak-anak? Hidup ini adalah pilihan. Semua mengenai pilihan, pilihan tentang jodoh, pilihan tentang jalan hidup... namun pilihan untuk bunuh diri…? Kenapa harus mereka? Kenapa bukan mereka... orang-orang yang tidak mengakui adanya Tuhan. Mengapa bukan mereka... orang-orang yang sibuk mengeyangkan perut di atas darah orang lain. Mengapa bukan? Alangkah tidak baiknya berandai-andai, karena semua terjadi atas izin Allah jua, walau pertemuan dengan Sang Kekasih harus ditempuh dengan cara yang berbeda-beda.Entah... sudah tidak masuk dalam pemikiran bagaimana pertanggungjawaban kelak di akhirat. Bukankah bunuh diri adalah dosa yang tak terampuni, namun ini semua menimpa anak-anak... Ah.. sudahlah, aku tak mampu memprediksi apa yang terjadi di sana, karena masalah memutuskan adalah hak prerogratif Allah semata. Mungkin ada amnesti, grasi di akhirat atau apalah namanya, karena mereka adalah anak-anak yang tidak tahu apa-apa.Aku marah... aku sedih... dan segenap perasaan yang berebut untuk menyesaki dadaku. Mereka adalah korban, ironisnya aku tidak tahu harus memulai dari mana untuk mengetahui di mana permasalahannya berakar. Apakah orangtua yang tidak mampu menghadirkan suasana melindungi untuk sang anak? Apakah pemerintah yang tak mampu mengayomi masyarakatnya, sehingga semakin bertebaran pengangguran? Ataukah media yang memicu anak-anak untuk berpikir dua kali lebih keras?Flashback pada masa kecilku, dokumenter kehidupan masa anak-anak berputar kembali. Apakah pernah aku berfikir untuk mengakhiri hidup dengan cara seperti itu? Yang aku pikirkan pada saat itu adalah bermain, bermain dan bermain. Hingga muncul keinginan untuk kembali ke masa itu di penghujung usia 22 tahun ini. Mungkin orangtuaku begitu pintar menyembunyikan permasalahan yang tengah menghimpit mereka, ataukah lingkunganku yang tidak neko-neko. Betapa tidak, belum ada tontonan yang macam-macam, cuma Unyil dan Oshin yang begitu terpatri dalam ingatanku. ........Waktu kukecil hidupkuAmatlah senangSenang dipandu-pandu dipeluknyaSenang dicium-dicium dimanjakanNamanya kesayangan .........Sekarang,Apa yang salah? Siapa yang salah?Yang tersisa adalah rasa takut, bukan takut untuk memiliki seorang anak. Takut bagaimana kelak ketika diamanahi anak oleh Allah, dan aku tak mampu menjaganya. Menjaga dari rasa tidak nyaman, tertekan, menjaganya dari lingkungan yang tidak aman, menjaganya dari kepungan media yang menawarkan sinetron yang tak masuk akal, kartun yang menampilkan kekerasan... Siapkah ketika mereka menguras energiku, memintal kesabaran dan pada saat yang bersamaan sedang terdesak permasalahan serius. Semua memerlukan persiapan yang tidak sebentar. Persiapan yang matang untuk mampu melahirkan stabilitas, rutinitas sekaligus arahan yang baik bagi anak-anak kita. Karena kita tidak tahu akan tumbuh di lingkungan seperti apakah mereka nantinya. Untuk yang telah memiliki anak, ada baiknya kewaspadaan dan peningkatan terhadap usaha introspeksi diri, karena “hantu bunuh diri” mengintip anak-anak kita. "Ya Allah... jagalah keluargaku dari siksa api neraka dan orang-orang yang zhalim terhadapnya."Lalu...Kubuka lembaran koran yang lain... "Belum ada dukungan resmi kepada capres, manuver politik yang dilakukan dua capres dengan cara mendekati tokoh dan elite politik terus berlanjut..."Ah, bosan!
Subscribe to:
Post Comments (Atom)
Belum ada tanggapan untuk "Mereka Pilih Bunuh Diri"
Post a Comment