PEJABAT Jakarta Seperti Ditampar

Salemba, Warta Kota

Seorang warganya harus menggendong mayat anaknya

karena tak mampu sewa mobil jenazah.



Penumpang kereta rel listrik (KRL) jurusan Jakarta -

Bogor pun geger Minggu (5/6). Sebab, mereka tahu bahwa

seorang pemulung bernama Supriono (38 thn) tengah

menggendong mayat anak, Khaerunisa (3thn). Supriono

akan memakamkan si kecil di Kampung Kramat, Bogor

dengan menggunakan jasa KRL. Tapi di Stasiun Tebet,

Supriono dipaksa turun dari kereta, lantas dibawa ke

kantor polisi karena dicurigai si anak adalah korban

kejahatan. Tapi di kantor polisi,Supriono mengatakan

si anak tewas karena penyakit muntaber. Polisi belum

langsung percaya dan memaksa Supriono membawa jenazah

itu ke RSCM untuk diautopsi.



Di RSCM, Supriono menjelaskan bahwa Khaerunisa sudah

empat hari terserang muntaber. Dia sudah membawa

Khaerunisa untuk berobat ke Puskesmas Kecamatan

Setiabudi. “Saya hanya sekali bawa Khaerunisa ke

puskesmas, saya tidak punya uang untuk membawanya lagi

ke puskesmas, meski biaya hanya Rp 4.000,- saya hanya

pemulung kardus, gelas dan botol plastik yang

penghasilannya hanya Rp 10.000,- per hari”.



Ujar bapak 2 anak yang mengaku tinggal di kolong

perlintasan rel KA di Cikini itu. Supriono hanya bisa

berharap Khaerunisa sembuh dengan sendirinya. Selama

sakit Khaerunisa terkadang masih mengikuti ayah dan

kakaknya, Muriski Saleh (6 thn), untuk memulung kardus

di Manggarai hingga Salemba, meski hanya terbaring

digerobak ayahnya. Karena tidak kuasa melawan

penyakitnya, akhirnya Khaerunisa menghembuskan nafas

terakhirnya pada Minggu (5/6) pukul 07.00. Khaerunisa

meninggal di depan sang ayah, dengan terbaring di

dalam gerobak yang kotor itu, di sela-sela kardus yang

bau. Tak ada siapa-siapa, kecuali sang bapak dan

kakaknya.



Supriono dan Muriski termangu. Uang di saku tinggal Rp

6.000,- tak mungkin cukup beli kain kafan untuk

membungkus mayat si kecil dengan layak, apalagi sampai

harus menyewa ambulans. Khaerunisa masih terbaring di

gerobak. Supriono mengajak Muriski berjalan menyorong

gerobak berisikan mayat itu dari Manggarai hingga ke

Stasiun Tebet, Supriono berniat menguburkan anaknya di

kampong pemulung di Kramat, Bogor. Ia berharap di sana

mendapatkan bantuan dari sesama pemulung.



Pukul 10.00 yang mulai terik, gerobak mayat itu tiba

di Stasiun Tebet. Yang tersisa hanyalah sarung kucel

yang kemudian dipakai membungkus jenazah si kecil.

Kepala mayat anak yang dicinta itu dibiarkan terbuka,

biar orang tak tahu kalau Khaerunisa sudah menghadap

Sang Khalik. Dengan menggandeng si sulung yang berusia

6 thn, Supriono menggendong Khaerunisa menuju stasiun.

Ketika KRL jurusan Bogor datang, tiba-tiba seorang

pedagang menghampiri Supriono dan menanyakan anaknya.

Lalu dijelaskan oleh Supriono bahwa anaknya telah

meninggal dan akan dibawa ke Bogor spontan penumpang

KRL yang mendengar penjelasan Supriono langsung

berkerumun dan Supriono langsung dibawa ke kantor

polisi Tebet.



Polisi menyuruh agar Supriono membawa anaknya ke RSCM

dengan menumpang ambulans hitam. Supriono ngotot

meminta agar mayat anaknya bisa segera dimakamkan.

Tapi dia hanya bisa tersandar di tembok ketika

menantikan surat permintaan pulang dari RSCM. Sambil

memandangi mayat Khaerunisa yang terbujur kaku. Hingga

saat itu Muriski sang kakak yang belum mengerti kalau

adiknya telah meninggal masih terus bermain sambil

sesekali memegang tubuh adiknya.



Pukul 16.00, akhirnya petugas RSCM mengeluarkan surat

tersebut, lagi-lagi Karena tidak punya uang untuk

menyewa ambulans, Supriono harus berjalan kaki

menggendong mayat Khaerunisa dengan kain sarung sambil

menggandeng tangan Muriski.



Beberapa warga yang iba memberikan uang sekadarnya

untuk ongkos perjalanan ke Bogor. Para pedagang di

RSCM juga memberikan air minum kemasan untuk bekal

Supriono dan Muriski di perjalanan.



Psikolog Sartono Mukadis menangis mendengar cerita ini

dan mengaku benar-benar terpukul dengan peristiwa yang

sangat tragis tersebut karena masyarakat dan aparat

pemerintah saat ini sudah tidak lagi perduli terhadap

sesama. “Peristiwa itu adalah dosa masyarakat yang

seharusnya kita bertanggung jawab untuk mengurus

jenazah Khaerunisa. Jangan bilang keluarga Supriono

tidak memiliki KTP atau KK atau bahkan tempat tinggal

dan alamat tetap. Ini merupakan tamparan untuk bangsa

Indonesia”, ujarnya. Koordinator Urban Poor

Consortium, Wardah Hafidz, mengatakan peristiwa itu

seharusnya tidak terjadi jika pemerintah memberikan

pelayanan kesehatan bagi orang yang tidak mampu.



Yang terjadi selama ini, pemerintah hanya memerangi

kemiskinan, tidak mengurusi orang miskin kata Wardah.

Postingan terkait:

Belum ada tanggapan untuk "PEJABAT Jakarta Seperti Ditampar"