SHERIN

Judul : SHERIN

Kategori : fiksi

Created Date : 27 Agustus 2004





Rintik-rintik hujan masih menari-nari di luar sana. Mendung kelabu belum mau beranjak pergi. Sesore ini aku belum juga menyelesaikan tugas madingku di sekretariat. Namun, hari sudah semakin gelap dan aku harus pulang. Segera kukemasi potongan-potongan artikel yang akan kupublikasikan di edisi mading minggu ini, kukunci pintu sekretariat dan dengan tergesa-gesa aku melangkah pulang.



Langkahku terhenti melihat sesosok tubuh yg sedang asyik menggambar, sendirian duduk di beranda kampus. Ia terlihat begitu asyik dan tidak menyadari kehadiranku. “ Hai.. sedang menggambar hujan, ” sapaku ramah. Gadis itu terkejut dan menatap tajam ke arahku, tatapannya kosong. Lalu secepat kilat ia menutup buku gambarnya, memeluknya, dan meletakkan dagunya di atas buku itu. Kepalanya sedikit menunduk dan tampak bergoyang-goyang.



“ Kamu Sherin kan ? Masih ingat kakak tidak ?” Aku tersenyum padanya dan berusaha mengingatkannya bahwa kami pernah bertemu sebelumnya. Dia masih membisu.



“Coba ingat lagi. Kita pernah bertemu saat acara ospek jurusan. Waktu itu kamu sakit dan kakak menungguimu di ruang kesehatan. Aku ingin sekali mengajakmu bicara, tapi kelihatannya kamu begitu lemah, “ aku terus berusaha.



“Sudah ingat?”



Dia tetap membisu dan aku telah kehilangan kata-kata sedangkan setumpuk tugas kuliah sedang menunggu di kostan. Aku meninggalkannya dengan berat hati dan berharap suatu saat gadis itu mau berbicara padaku.



Aku mengacungkan tanganku dan itu telah membuat beberapa pasang mata di ruangan kecil ini menatap ke arahku. “Kamu yakin Dik?” tanya Kak Indah. “Ada apa? Tentu saja aku memilihnya dan aku tertarik mengenalnya lebih jauh,” jawabku mantap.



Kak Indah mendesah pelan dan kulihat kakak-kakak yang lain sedikit menunduk. “Gadis pendiam yang sangat pasif dan mempunyai masa lalu yang bermasalah. Aku pikir akan menyerahkannya pada senior, kepada Kak Feni atau Kak Nisa ,” gumamnya.



Aku menelan ludah, “ Aku tahu ini akan berat Kak, tapi insyaAllah aku bisa melakukannya. ”



Dan begitulah, aku telah memilihnya sebagai mahasiswa baru yang menjadi target binaanku di program keputrian kami. Mungkin aku terlalu percaya diri, tapi aku benar-benar ingin mengenal lebih jauh tentangnya. Aku mulai berpikir bahwa aku harus belajar ilmu psikologi, mengenal teori-teori Sigmund Freud, untuk memulai misiku ini. Namun, segera aku tertawa sendiri bila menyadari bahwa aku tidak begitu tertarik dengan ilmu itu, apalagi melihat buku-buku referensinya yang begitu tebal. Aku hanya tahu bahwa seseorang sedang terkungkung dalam dunianya sendiri dan dia membutuhkan teman untuk berbagi dunia tersebut.



Hari begitu cerah dan matahari dengan hangat menyapaku. Kuhirup udara kampus dalam-dalam dan riuh rendah suara teman-teman menjadi semacam suara alam yang menyenangkan. Mata kuliah basis data akan dimulai setengah jam lagi sehingga aku masih mempunyai banyak waktu untuk menyenangkan diri di taman kampus. Dengan bersemangat aku menuju ke sana dan tanpa sengaja gadis itu kembali kutemui, asyik menggoreskan pensilnya di atas buku gambar. Dia duduk santai menghadap bunga matahari yang pagi itu mekar begitu anggunnya.



Aku melangkah begitu pelan mendekatinya, takut ia akan terganggu dengan kehadiranku. Semakin lama kudekati semakin jelas terlihatlah goresan-goresan yang dia buat. Subhanalloh, sungguh indah sekali dan tampak nyata. Bunga matahari yang bergerak lembut dibelai angin dan bersinar ditimpa sinar surya. Tiba-tiba aku sudah duduk begitu dekat dengannya. Dia terkejut mengetahui kehadiranku dan seperti biasa segera menutup bukunya, menunduk, dan kini kedua kakinya yang terus bergerak-gerak resah. Aku mendesah pelan dan bingung harus berkata apa.



“Sherin, apa kau sudah mengingat kakak?” tanyaku mengulang pertanyaan yang sama kuajukan beberapa hari lalu. Dia menatapku tajam dan seolah berusaha membaca pancaran ramah yang kucoba hadirkan saat ini. Aku memberikan senyuman yang paling manis, tapi itu tidak cukup membuat ia mengubah ekspresi dinginnya padaku.



“Aku tahu sebenarnya kamu anak yang baik, ramah, dan menyenangkan. Karena itu aku ingin berteman denganmu. Mau tidak berteman dengan kakak?” tanyaku sungguh-sungguh sambil mengulurkan tanganku ke arahnya.



Keheningan itu begitu lama dan aku harus benar-benar bersabar untuk menunggu reaksi selanjutnya. Angin bulan September terasa sejuk pagi itu tapi itu tak membuat hatiku menjadi tenang dengan sikap Sherin yang tak kumengerti. Tiba-tiba dia menggerakkan tangannya dan menerima uluran tanganku. Ekspresi wajahnya sedikit demi sedikit mulai berubah. Aku bersyukur dalam hati. Pandangannya yang dingin mulai pudar dan wajah itu mendadak berubah menjadi sendu. Ada air mata yang menetes di kedua sudut matanya.



“Apakah kakak benar-benar ingin menjadi sahabatku?” tanyanya pelan.



Aku tersenyum, “tentu saja, insyaAllah.”



Dia menunduk, “telah lama aku tidak menemukan wajah seramah kakak. Aku berharap itu bukan kepalsuan dan di kemudian hari kakak tidak mengkhianatiku.”



Aku memikirkan sejenak ucapannya yang begitu dalam ini. Apakah dia pernah terluka oleh persabahatan dan dikhianati teman kepercayaannya. Apakah sesuatu yang buruk telah terjadi padanya di masa lalu. Aku mengingat kembali kata-kata Kak Indah bahwa dia gadis bermasalah. Namun, aku sungguh tidak bisa mengerti ada ‘masalah’ apa, kenapa ‘masalah’ itu bisa terjadi, dan apakah ‘masalah’ itu sampai kini terus menghantuinya. Aku menjawab mantap, “insyaAllah, kita pasti akan jadi sahabat yang menyenangkan.”



Dia menatap padaku dengan berbinar, “oh ya? Akan menjadi seakrab Aladin dan lampu ajaibnya?” Aku tertawa dan untuk pertama kalinya aku melihatnya tertawa riang. Itu adalah awal persahabatan yang indah di Bulan September yang secerah bunga matahari dan seterang berkas cahaya pagi.



Aku semakin dekat dengan Sherin. Setiap hari sering kami bertemu. Taman kampus di depan serumpunan bunga matahari ini adalah tempat favorit kami. Tidak pernah kuduga bahwa dia seorang anak yang gemar bercerita dan aku akan betah duduk berlama-lama mendengarkan ceritanya. Namun, bagi teman-teman angkatannya dan senior-senior lain, dia tetaplah menjadi gunung es yang dingin dan beku. Dia kuperkenalkan kepada kegiatan keputrian, mengajaknya ikut serta, dan memintanya membantuku mengurus mading keputrian. Ia tampak senang mengikuti semua kegiatan itu.



Setiap akhir pekan selalu ada yang kami kerjakan bersama. Ia sendirian di rumahnya dan kedua orang tuanya sering tinggal di luar negeri untuk mengurus bisnis mereka. Sherin merasa kesepian di rumah besarnya dengan hanya ditemani seorang pembantu dan seorang sopir pribadi. Ia sering merajuk, memintaku menginap di rumahnya. Terkadang aku dirayu juga agar mengijinkan ia menginap di kamar kostku. Aku hanya tertawa dengan semua rajukan dan rayuannya itu. Ia anak yang manja.



Sore itu kami sedang asyik mencari buku-buku baru di toko buku. Ia tertarik mencari buku Ibnu Qayyim Al Jauziyah. Rak-rak kami jelajahi dan ia terus berkomentar bila ada buku yang menarik hatinya. Terkadang ia membuat lelucon terhadap isi buku-buku itu hingga perutku sakit karena terlalu banyak tertawa.



Tiba-tiba ia menggenggam tanganku begitu erat dan tatapannya nanar memandang ke depan. Aku agak terkejut dengan sikapnya dan belum sempat aku mengucapkan sepatah kata, ia menarik tanganku untuk bersembunyi di suatu tempat. Nafasnya terengah-engah, raut mukanya pucat pasi. Sungguh, aku belum pernah melihat ia begitu ketakutan seperti ini.



“Kakak, kita harus pergi, “bisiknya gusar. Aku menoleh ke kanan dan kiri untuk melihat hal apa yang membuatnya gusar seperti ini, tapi tidak kutemukan sesuatu yang mencurigakan. “Ayo, kakak, kumohon,” dia bertambah gusar. “Tapi, Sher kita belum ...” kata-kataku terhenti karena Sherin telah menarikku keluar dari toko itu dan berlari menuju mobilnya yang menunggu di depan. Dia menyuruh sopirnya segera menancapkan gas dan mempercepat laju kendaraan. “Ada apa, Neng?” tanya bapak setengah baya itu dengan cemas karena melihat sikap Sherin. Dia tidak segera menjawab. “Pak, Sherin tidak mau pulang ke rumah, malam ini akan menginap di kostan kakak,” ujarnya pelan.

Mobil terus melaju melewati Jalan Surapati dan berbelok menuju gang kostanku.



Malam itu kubiarkan ia berbaring dan melipatkan badannya di dalam selimut bunga-bungaku. Ia masih pucat dan tiba-tiba suhu badannya naik tadi sore. Alhamdulillah, malam ini panasnya sudah turun setelah tadi kukompres dengan air es. Wajahnya masih pucat. Aku sangat khawatir, tetapi belum punya seribu keberanian untuk bertanya padanya. Akhirnya, hanya tilawahlah tempat aku menenangkan diri.



“Kakak tahu kan aku gadis bermasalah,” tanyanya pelan begitu melihatku selesai tilawah sambil bangkit dari pembaringannya lalu duduk terpaku.



Aku menatapnya sebentar, “Semua orang kan punya masalah Sherin. Kakak nih juga orang paling bermasalah loh,” jawabku sambil tersenyum. “Oh ya” , serunya ingin tahu. Aku tertawa kecil. “Kakak punya banyak masalah, terutama di akhir bulan,” kataku sambil mengedipkan sebelah mata.



Kulihat dia tertawa. “Sherin pernah terlibat jaringan narkoba kak,” suaranya begitu pelan mengakhiri tawa singkatnya. Aku agak terkejut, tetapi tidak ingin memberikan komentar terlalu dini terhadap pernyataannya ini.



“Waktu masih sekolah dulu, aku punya teman yang sangat akrab. Dia adalah satu-satunya orang yang mengerti aku. Kami sangat akrab sekali yang bahkan aku percaya padanya melebihi mama dan papa. Namun, kepercayaan itu telah membawaku masuk ke dunianya yang sungguh tidak pernah aku duga. Aku tidak bisa lepas darinya, jadi pecandu narkoba, ikut membantunya mengedarkan narkoba. Aku mengalami kepribadian yang tidak menentu. Kepribadian baik yang kutunjukkan di depan mama papa dan kepribadian buruk di belakangnya. Namun, akhirnya mama dan papa tahu ada yang tidak beres dengan perilakuku. Mereka memergoki aku sedang sakau dan marah begitu besar. Aku dikurung selama berbulan-bulan dengan memutuskan komunikasiku dengan siapapun. Sahabat karibku terus berusaha menghubungi dan mengejarku karena aku kenal nama2 pengedar narkoba di dalam jaringannya. Dia takut mama dan papa akan mendesakku untuk melaporkan kepada polisi.”



Sherin berhenti sejenak dan mengatur nafasnya. “Temanku dan beberapa temannya sering meneror keluargaku hingga papa memutuskan untuk mengirimku di panti rehabilitasi. Kecewa, putus asa, aku tidak mau berbicara dengan siapapun selama berbulan-bulan. Namun, dokter-dokter di sana sangat baik dan terus memberi semangat padaku untuk bangkit kembali. Aku sembuh tapi kenangan itu sungguh tidak mau lepas dariku, dalam setiap detik dan malam ia serasa memburuku. “



Ada air mata yang menetes dan tiba-tiba ia sudah sesenggukan begitu hebat. “Papa dan mama menyembunyikan aku di kota ini agar temanku dan gangnya tidak mengetahui keberadaanku. Lalu papa meninggalkan aku sendirian, tertatih mencoba menemukan jati diriku”



Aku hampir menggerakkan tanganku untuk memeluknya tapi tangan itu menggantung di awang-awang. Kuperhatikan dia yang bersembunyi di bawah selimut. Tiba-tiba Sherin melempar selimut itu dan membalikkan badan ke arah dinding. Kepalanya dibentur-benturkan ke sana dengan keras.



“Semua jahat! Aku benci! Jahattt!” Ia berteriak begitu keras.



“Sherin…sadar..istigfar…ini kakak,” aku berusaha mencegah perbuatan yang membahayakannya itu. Kucoba tarik kedua tangannya, tapi ia begitu hebat melawanku. Akhirnya ia kewalahan dan terjatuh lemas di bahuku. Kupeluk ia dan kubelai rambutnya. Aku tak kuasa menahan air mataku. “Tenang...Sherin bersama kakak. Kakak insyaAllah akan menjaga Sherin.” Ia terus menangis sesenggukan di atas bahuku. “Sherin janji ya tidak mengulangi perbuatan ini lagi?”



Ia mengangguk dan aku semakin erat memeluknya. “ Aku takut kak…takut sekali…aku harus bagaimana. Mama papa seperti membuang aku di sini. Aku anak terbuang. Aku takut bayang-bayang masa lalu itu kembali ,” katanya pelan sekali.



Aku terdiam dan entah aku harus berkata apa lagi. Aku jadi membenci diriku sendiri karena tidak menemukan kata yang tepat untuk kuucapkan. Aku hanya bisa memeluknya, mendengarkan keluhannya, dan berharap Sherin sadar bahwa ada seseorang yang menyayanginya.



Kenapa Sherin begitu ketakutan di toko buku itu masih merupakan pertanyaan besar yang sampai esok harinya belum mampu kujawab. Pagi-pagi sekali aku harus berangkat kuliah dan dengan berat harus meninggalkan Sherin sendirian di kamarku. Sehabis zuhur ada rapat di sekretariat dan sehabis ashar ada praktikum. Seharian ini aku tidak akan bisa pulang ke kostan. Kutanyakan padanya apakah ia ada jadwal kuliah. Ia menggeleng.



“ Kakak ada kuliah pagi ini. Sarapan paginya sudah kakak siapkan di meja. Makanan kecilnya silakan ambil di kotak makanan.” Aku berpamitan padanya dan tidak lupa mengecek suhu badannya. Kuusap dahinya yang tampak kemerahan karena aksi tadi malam sambil tersenyum. “Semoga harimu menyenangkan.”



Untuk sesaat aku melupakan Sherin dan segenap permasalahannya. Pertemuan dengan teman-teman, cerita yang mengalir dari teman-teman, berita-berita baru di kampus, telah menenggelamkan aku dalam suasana kampus yang ceria. Rapat di sekretariat pun telah mengalihkan pikiranku dari ketidakmengertian terhadap sikap Sherin. Rapat yang begitu serius dan harus memeras otak untuk merancang acara bakti sosial yang akan kami adakan beberapa bulan lagi.



Aku sudah cukup capek seharian, ditambah acara praktikum yang mengharuskan berada di depan komputer selama beberapa jam. Dalam angkot sepulang dari kampus itu kupejamkan mata sebentar dan kuhirup nafas dalam-dalam. Kuaktifkan kembali sel-sel otak yang menyimpan seribu masalah tentang Sherin. Aku berharap tidak ada hal aneh lagi yang kutemui setibanya aku di kostan.



Aku melongo, kamarku telah kosong. Sedikit banyak aku merasa khawatir. “Tadi siang ia sudah dijemput mama papanya, Rani, “ jawab kakak penghuni kamar sebelah. Aku manggut-manggut dan sedikit merasa lega. Apakah orang tuanya sudah kembali dari luar negeri. Mengapa kejadian demi kejadian datang begitu cepat.



Hari demi hari berikutnya aku jarang bertemu Sherin. Sekilas aku melihatnya di perpustakaan, terkadang di kantin, dan tak pernah kutemui di taman kampus. Kulihat ia sudah berubah. Raut wajahnya sudah tidak sendu lagi dan keceriaan selalu terpancar dari wajahnya. Beberapa kali kulihat ia sudah berbicara dan bercanda dengan teman-temannya. Ia bukanlah Sherin yang dulu, aku yakin.



“Kakak,” suara itu mengagetkan lamunanku di taman kampus pagi ini. Ia datang dengan senyuman yang tersungging. Wajahnya yang ceria bertambah cerah oleh terpaan sinar matahari pagi dan jilbab ungu muda yang membalutnya anggun. “ Maafkan aku ya lama tidak menghubungi kakak ,” katanya sopan.



“ Subhanalloh, cantik sekali Sherin dengan jilbab itu. Semoga istiqomah ya,” jawabku dengan ceria pula, “Ada apa hari ini ceria sekali?”



“Kakak, coba tebak,” serunya bersemangat. Aku melontarkan beberapa kemungkinan dan ia selalu menggelengkan kepala, tanda menyalahkan kemungkinanku, sambil tertawa. “Mama dan papa kemarin meminta maaf karena selama ini tidak memperhatikanku dan sibuk dengan bisnisnya. Ketika kemarin papa menghadiri seminar di London beliau menemui paman di di North Wales. Papa banyak bercerita tentang aku kemudian paman menawari papa untuk membawaku tinggal bersama paman. Beliau dan istrinya sudah setengah baya, tapi belum mempunyai putra.,” katanya dengan sinar mata yang berbinar-binar.



Aku tersenyum dan ikut senang mendengarnya. “Kedengarannya menarik sekali.” Ia mengangguk. “Aku akan tinggal bersama paman di sana. Mencari college yang sesuai dan menikmati hari-hari yang menyenangkan, menikmati musim panas, ah… menyenangkan sekali.”



“Alhamdulillah, kakak akan senang bila kamu senang”



Sherin menghentikan tawanya dan tiba-tiba memelukku. “Kakak, terima kasih atas semuanya. Nanti pasti aku akan sangat merindukan kakak. Papa bilang akan membawaku bulan depan. Itu berarti aku akan menghentikan studiku di sini. Aku ingin meninggalkan kesan baik di mata semua orang, kesan Sherin yang ceria, bukan Sherin yang dingin bagai gunung es.”



“Sejak pertama kakak tahu Kamu baik, ramah, dan menyenangkan,” kataku pelan.



“Aku mempunyai sesuatu untuk kakak,” katanya sambil menyerahkan sebuah bungkusan lalu memohon diri.



Kutatap kepergiaannya disertai gugurnya satu persatu kelopak bunga matahari yang diterpa sang bayu. Ketika bungkusan itu kubuka, kudapati sebuah lukisan kamarku dengan garis-garis arsir yang lembut. Tirai jendela sedikit terbuka dan terlihat seberkas cahaya matahari menghamburkan sinar-sinar halus di tepian kaca. Setitik air mata jatuh di atas lukisan itu, air mata haru dan kebahagiaan.



Hari demi hari menatap Sherin laksana waktu-waktu melepas sakura berguguran. Di satu sisi aku bahagia dengan keadaannya, orang tua yang mulai perhatian padanya, kehidupan baru yang akan dihadapinya. Di sisi lain aku akan kehilangan dia dan harus melepasnya dengan sesuatu yang kurasakan masih mengganjal dalam, misterius, dan belum mampu kuungkap. Emosinya masih labil. Namun, kesibukanku mempersiapkan acara bakti sosial telah menyita seluruh waktuku. Kepingan-kepingan kekhawatiran kecil itu berlahan-lahan mulai luruh seiring waktu. Kesibukan mempersiapkan UAS menambah intensitas waktu sibukku. Sherin telah hampir kulupakan dan kubiarkan menikmati hari-hari terakhirnya di kampus ini.



UAS telah berakhir, kegiatan bakti sosial telah di depan mata. Ruang sekretariat yang kecil itu menjadi semakin sibuk dengan aktifitas penghuninya. Barang-barang yang akan disumbangkan menumpuk di sudut ruangan. Survey akhir daerah kumuh yang menjadi target baksos telah dilakukan minggu lalu. Aku dan Kak Indah sibuk berdiskusi tentang persiapan akhir acara ini. Aku cukup gelisah menjadi koordinator acara ini karena belum mempunyai pengalaman sebelumnya. Kak Indah setia mendampingiku dan menjadi konsultan yang baik.



Pada hari H acara ini aku semakin merasa tidak enak. Kekhawatiran begitu hebat menyerangku dengan seribu pertanyaan dan kekecilan hati. Bagaimana kalau acaranya gagal? Bagaimana kalo terjadi insiden? Bagaimana..bagaimana..bagaimana… Aku tidak boleh bersikap seperti ini, aku harus memberi semangat kepada teman-teman yang telah setial membantuku. Kuusir segenap rasa khawatir dan rendah diri. Aku harus ceria dan bersemangat.



Acara baksos ramai dan padat diserbu penduduk tidak mampu di daerah itu. Rasanya senang sekali bisa memberikan sesuatu, yang insyaAllah, bermanfaat bagi mereka. Hanya ini yang bisa kami berikan dengan harapan membantu meringankan penderitaan mereka. Melihat anak-anak kecil berpakaian lusuh dengan badan kotor telah meyentuh perasaanku yang paling dalam. Ya Allah, semoga situasi negeri ini di kemudian hari akan berubah menjadi lebih baik. Aku tahu Engkau tidak akan merubah nasib suatu kaum sebelum kaum itu mau merubah nasibnya sendiri.



Alhamdulillah, acara itu berjalan lancar. Kuhirup nafas dalam-dalam dan kurebahkan diri di kamar kost favoritku ini selepas acara yang melelahkan itu. Ketika kuambil HP dari dalam tas, baru kutahu baterainya telah habis. Segera kuisi baterai HP-ku dan berharap tidak ada sms atau telepon penting untukku yang terlalaikan karena aku lupa mengisi baterai HP.



Ketika kuaktifkan HP yang mati itu segera aku terkejut melihat sejumlah misscalled bertengger di sudut kiri bawah layar HP. Dari Sherin! Ada apa ini, dia tak biasa menelepon aku sebanyak ini. Rasa khawatir tiba-tiba sudah memuncak di kepalaku dan mengeraskan degub jantungku. Segera aku berlari ke wartel dan menelepon rumahnya.



“Tidak tahu, Neng, Sherin tadi pagi hanya pamit pergi ke toko buku, tapi kok sudah malam begini belum pulang ya,” jawab Bi Ros.



“Sherin tidak mengatakan apa-apa, Bi?”



“Tidak, Neng, biasanya abis zuhur sudah pulang”



Aku semakin khawatir. Toko Buku! Aku teringat beberapa minggu lalu ketika dia ketakutan di toko buku. Segera aku pergi ke toko buku yang pernah kami kunjungi. Namun, ini sudah hampir jam 9 malam dan sebentar lagi toko akan tutup. Tidak kutemui satu jejak pun di sana yang akan mengantarkanku untuk menemukan Sherin. Tiba-tiba timbul penyesalan di hatiku, kenapa kemarin tidak kupaksa Sherin ikut acara bakti sosial hari ini. Menyesalpun sudah tidak berguna karena sekarang aku harus menemukan Sherin. Kutelepon kembali rumahnya dan Bi Ros masih mengatakan Sherin belum juga pulang. Hati kecilku mengatakan sesuatu terjadi padanya. Namun, sungguh sebuah kebuntuan bahwa aku tidak tahu harus mencarinya dimana.



Aku terus berjalan di toko buku dan mall-mall di sekitarnya. Ini sudah di atas jam sembilan, tapi daerah pusat perbelanjaan ini masih hiruk pikuk. Sudah beberapa menit aku berjalan dan terus berjalan dengan hasil nihil. Aku tidak mempunyai pilihan lain selain pulang. Di perjalanan aku tiba-tiba teringat sebuah tempat, kampus. Segera aku pergi kesana dan berharap menemukan Sherin.



Seorang bapak satpam yang bertugas menjaga kampus malam itu tampak terkejut melihat kedatanganku selarut itu. “Ada apa Nak?”



Aku tampak gusar dan bingung menjawabnya. “Pak, melihat Sherin nggak?”



Beliau tampak menggaruk-garukkan kepalanya. “Sherin yang mana?”



Aku mendesah pelan. Mahasiswa di kampus ini ribuan jumlahnya dan Sherin bukanlah mahasiswi yang high profile di kampus.



Sebuah suara gemuruh dari gudang belakang mengagetkan kami berdua. “Apa itu Pak?” Aku penasaran. Dia mengangkat bahu, “mungkin hanya kucing.” Aku tidak puas dengan jawaban itua dan segera berlari ke arah gudang. “Hei…disana gelap…,” serunya. Aku tidak memperhatikannya, keberanianku telah meningkat 180 derajat. Dengan tergesa-gesa aku berlari dan demi mengetahui betapa gelapnya tempat itu, keberanian itu tiba-tiba surut.



Namun, sebuah cahaya lampu senter membuat aku sedikit lega. “Kamu keras kepala sekali, Nak, ” bapak tadi tiba-tiba telah datang ke tempat itu. Aku menunduk malu. Segera kami mencari asal suara itu dengan mengendap-endap. Pintu gudang tua itu telah rusak dan suara engselnya yang berderit di tiup angin malam begitu menyayat hati. Dzikir kucoba tak lepas dari hatiku, aku merasakan sesuatu yang buruk telah terjadi di sini.



“ Sherinn !!” Aku tidak kuasa berteriak melihat sesosok tubuh yang terkulai lemas tak berdaya di sudut ruangan gudang itu. Dari mulutnya keluar busa. Pernafasannya begitu lemah dan wajahnya pucat pasi. Ya Allah, apa yang terjadi padanya. Segera kami larikan Sherin ke Instalasi Gawat Darurat terdekat dan jawaban dokter hanya satu, dia over dosis karena mengkomsumsi heroin bersama obat tidur yang berlebihan.



Aku duduk terpekur sambil membenamkan wajahku di kedua telapak tanganku. Rasa bersalah datang menghantuiku. Bukankah dulu aku berjanji menjaga Sherin, tapi mengapa saat dia membutuhkanku aku tidak bisa berbuat apa-apa. Aku berharap semuanya akan baik-baik saja, tapi melihat keadaannya tadi aku sungguh seperti merpati yang kehilangan sayap. Kenapa dia bisa over dosis ? Ada sesuatu yang terjadi ! Jangan-jangan teman di masa lalu, yang pernah dia ceritakan, menemukannya, lalu memaksanya menenggak obat jahanam itu, lalu..lalu… Astagfirullah, aku benar-benar kalut.



Sherin terbaring lemah di sisiku. Sebuah jarum infus menembus tangan kanannya dan detik demi detik air menetes dari tabung infus di atasnya. Sebentar kemudian ia mulai sadar dan mengerang. “Sherin, ini kakak,” bisikku pelan. Matanya tampak sayu dan wajahnya masih pucat. “Kakak..,” desahnya.



“Kakak jahat sekali, “ ujarnya pelan, “kakak meninggalkanku sendirian.”



Aku menangis dan kudekap tangannya, “maafkan kakak, sekarang kakak ada di sini, kamu baik-baik saja kan?”



“Pusing sekali….pusingggg…,” lalu ia tak sadarkan diri lagi.



Aku menungguinya cukup lama. Tahajud dan tilawah adalah teman setia di penghujung malam yang amat menegangkan ini. Begitu sunyi senyap dan hanya kehampaan yang mengelubungi. Kuintip langit atas dari tirai jendela. Mencoba mencari bintang jatuh yang mungkin tiba-tiba muncul mempesona. Aku tersenyum, getir, menghibur diri dari beragam rasa yang tiba-tiba membaur. Tiba-tiba aku teringat jawaban Bi’ Ros waktu aku menyempatkan diri menelepon tadi. Orang tua Sherin sedang berada di North Wales dan mempersiapkan kehidupan baru untuk Sherin. Namun, dia di sini sedang terkungkung dalam pergulatan hidup dan mati.



Sherin mengerang lagi dan itu membuat aku segera berlari mendekati. Wajahnya begitu pucat pasi, nafasnya tersengal-sengal, tidak teratur, tatap matanya tajam. Aku begitu khawatir dan reflek memencet tombol emergency call.



“dia..dia datanggg,” serunya pelan.



“Siapa Sherin, siapa ?” Aku berbisik di telinganya.



“dia..dia datanggg...”



Kuulangi lagi pertanyaanku berkali-kali, tapi episode ini berlanjut berulang-ulang. “Katakan siapa ? Teman Sherin ?” Dia menangis dan mengangguk. Aku begitu khawatir dengan keadaannya, tapi perawat belum juga muncul.



Nafasnya semakin tidak teratur dan berlahan mulai lemah. Dia terus menangis. “Sakit kakak….sakit.” Kupegang kedua pipinya, “Sherin lihat mata kakak, sekarang Sherin dzikir ya, ikuti kakak ya.” Aku terus menuntunnya untuk berdzikir dan dadaku berdebar-debar begitu kencang.



“Kakak, ada cahaya datang, lihatlah ,” serunya berbisik dengan nafasnya yang tidak mau membaik. Aku tersentak mendengar perkataannya. Kupandang sekelililing tapi hanya keremangan ruangan kecil bercat putih yang terlihat. “Dia semakin dekat Kak, lihat,” suaranya semakin lemah dan hampir tak terdengar. Kutatap kedua matanya dan kuselami bening matanya itu, “kakak jangan melupakan aku, janji?” Aku lemah, aku menangis dan mengangguk. “Asyhadualla illa haillah..,” bisikku. Dia semakin lemah, tapi dari gerak bibirnya aku tahu dia sedang mengucapkan kata itu. “Wa asyhaduanna muhammadarrasulullah,” aku membisikkannya sekali lagi, dekat sekali di telinganya dengan air mata yang bercucuran. Kulihat dia menirukannya sekali lagi. Dia semakin lemah..lemah...dan akhirnya kedua kelopak matanya menutup dengan nafas yang tiada lagi kudengar. Innalillahi wa inna lillahi roji’un.



Sherin telah pergi! Kutengadahkan tangan ke atas, berdoa semoga malaikat suci yang membawanya akan menempatkan dia di tempat terindah di sisi Rabb-nya dan Rabb bersama malaikat-malaikat di Arsy menyambut arwahnya dengan wajah yang berseri-seri.



Tiga tahun telah berlalu.



Matahari sore menerpaku dengan hangat, mengiringi setiap langkah kakiku menyusuri lorong-lorong tua yang penuh kenangan ini. Aku sengaja datang ke kampus sore ini dan bersendiri membuka lembar demi lembar kenangan yang pernah kutulis. Tiba-tiba rintik hujan datang menyapa. Kutatap langit yang tiba-tiba mendung. Hawa dingin dan terpaan sang bayu terasa getir dan resah.



Aku terkejut! Sesosok tubuh kulihat duduk sendirian di beranda kampus dan itu telah menggali kembali runtuhan-runtuhan memoriku tentang seseorang bernama Sherin. Mataku tidak mau lepas darinya dan entah mengapa ada kekuatan yang mendorongku untuk mendekatinya. Dia sedang menggambar rintik hujan, sama seperti perbuatan Sherin tiga tahun lalu. Tiba-tiba dadaku berdegub kencang, mungkin ini hanya ilusi, tapi gadis di depanku ini tampak begitu nyata.



“Hai .. sedang menggambar hujan,” aku terkejut dengan kata-kata yang tiba keluar dari mulutku ini, seakan mengulang episode prolog yang sama tiga tahun lalu.



Gadis itu terkejut lalu menatapku kosong. Cukup lama kami saling berpandangan. Kucoba membaca aura persahabatan dari sorot matanya. Lalu dia tersenyum dan mengulurkan tangan padaku, “Perkenalkan kak, saya Sherin.” Aku tersentak! Sherin! Dengan bergetar kubalas uluran tangannya. “Duduklah menunggu hujan di sini, Kak. Mereka begitu indah kan,” tanyanya padaku lalu meneruskan gambaran yang belum diselesaikannya.



Aku duduk di sampingnya. Dia bukan Sherin seperti yang kukenal beberapa tahun lalu. Dia Sherin yang lain. “Kakak pasti bukan angkatanku ya karena aku kenal semua mahasiswa baru di kampus ini,” tanyanya. Aku tersenyum, “benar sekali, kemarin kakak baru diwisuda.” Dia menatapku lalu tersenyum, “benar perkiraanku, aku seperti pernah mengenal Kakak, em mengenal begitu dekat, tapi kita tidak pernah bertemu sebelumnya kan?” Aku mengangguk dan kubiarkan dia terus menari-narikan jari-jemarinya di atas kertas putih itu.



Bersama rintik-rintik hujan yang indah sore ini aku terus larut dalam kerinduan mengenang Sherin. Kisah hidupnya, misteri yang sampai sekarang belum bisa aku pecahkan. Ruang-ruang kehidupannya masih menyisakan tanda tanya besar bagiku sedangkan aku hanya bisa berdiri di tepian ruang dan meraba satu sisi darinya. Di akhir hidupnya dia sudah banyak berubah. Keceriaan, sosialisasi yang semakin baik, spiritualitas yang meningkat, dan motivasi untuk memulai kehidupan baru adalah harta berharga dan anugerah terbesar yang dimikinya. Namun, siapa yang mampu mengetahui episode berikutnya dari Sang Pembuat Naskah Kehidupan.



Semua sedang berusaha memberikan kehidupan baru bagi Sherin. Semua sedang berproses, tapi proses itu terhentikan tatkala semuanya telah ada di depan mata dan tinggal satu kaki lagi yang harus melangkah. Bukankah manusia hanya bisa berusaha dan Allah jualah yang menentukan hasilnya. Bukankah bukan hasil akhirnya yang menjadi target, tetapi keindahan berproses. Kata demi kata terus bergejolak di hatiku, kata-kata penghibur yang memberikan aku ketenangan tentang adanya Zat Yang Maha Kuasa.



“Hei..kakak jangan melamun! Hujan sudah berhenti,” seru gadis itu mengagetkanku.

Aku tersentak dan menatap pelataran kampus yang kini basah. Rintik-rintik hujan itu telah pergi sebagaimana kenangan sedihku tentang Sherin telah lari pula dariku.



Tak lama kemudian serombongan orang datang dari lantai 2. “Sherin..! Kamu bersembunyi di sini ya,” seru mereka ramai. Kulihat Sherin tertawa lalu memohon diri padaku. “Pergi dulu ya Kak. Nih, buat Kakak, sebagai tanda persahabatan kita sore ini. Kemanapun kakak pergi jangan lupakan Sherin ya,” katanya sambil mengedipkan sebelah matanya. Kuterima gambar rintik-rintik hujan yang terarsir dengan indah dan halus itu lalu kutatap kepergiannya. Gadis-gadis itu tampak ceria dan sepanjang mataku memandang, mereka selalu tertawa dan bercanda. Itu membuat aku merindukan teman-temanku.



Berlahan kubuka tas punggungku dan kuambil sebuah kertas gambar di dalam map. Gambar itu tiga tahun lalu diberikan Sherin sebagai rasa terima kasih atau juga perpisahan panjang yang akan kami lalui. Kuperhatikan kedua gambar dari dua orang yang sama-sama bernama Sherin itu. Gores dan arsiran yang sama-sama halus dan indah. Namun, kuterima gambar ‘kamar pagiku’ dengan tetesan air mata dan kuterima ‘rintik hujan sore’ ini dengan kebahagiaan. Setidaknya di dunia ini, hadir seseorang bernama Sherin, yang memiliki kehidupan yang indah, penuh dengan keceriaan dalam persahabatan.



Matahari sore kembali bersinar hangat. Mendung kelabu telah musnah dan luruh. Kupejamkan mata dan kuhirup nafas dalam-dalam. Kenapa seseorang harus bersedih tatkala terkenang dengan masa lalu? Bukankah bersama terbit terbenamnya matahari, lapis demi lapis kehidupan telah ditutup dan tiada satu jalan pun yang terbuka untuk kembali ke sana, pun hanya untuk kembali ke masa sedetik yang telah terlewat. Hidup adalah laksana rangkaian syair indah yang terus berlanjut bait demi baitnya. Ia pun seperti episode drama panjang yang babak demi babaknya akan berakhir di suatu masa. Inilah hidup yang fana dan melenakan.



Kulangkahkan pasti menyusuri jalan panjang menuju gerbang kampus yang selama beberapa tahun setia menyambutku. Esok hari aku akan meninggalkan satu episode dan menghadapi kehidupan baru dengan terus membawa nama Sherin di hatiku, bukan untuk kesedihan atau kedukalaraan, tetapi untuk kekuatan dan motivasi menerima segala kehendak-Nya. Aku tahu Dia akan selalu memberikan yang terbaik bagi hamba-Nya. Itu saja dan itu saja.



Postingan terkait:

Belum ada tanggapan untuk "SHERIN"